Anak Gempal
Malam sabtu, gelap, dengan martabak keju kismis di tangan kanan yang kadang dipindah ke kiri, bagaimanapun caranya pokoknya biar tidak ada yang lihat aku bawa. Berjalanku menuju rumah wanita tercintaku yang pertama. Kusetel ipodku yang dari dulu segitu- segitu aja gak besar- besar, makannya listrik.
Sampai rumah bertemu makhluk berbadan gempal dengan tinggi selututku, tiba- tiba berlari dan menatapku dengan tatapan penuh. Mungkin aku bisa dimakannya dia pikir. Kutemui wanita tercintaku dan kucium ia, lalu kembali ke tempat si anak gempal. Gila kuat sekali tenaganya ucapku dalam hati. Bola yang ia tendangkan tepat mengarah ke mukaku, terpentalku lalu pura- pura pingsan di kursi, berharap ia juga tertidur karena babak perpanjangan waktu sudah selesai. Semua lelah, kecuali dia, anjir bocah edan.
Bangun aku dari pura- pura tidurku yang akhirnya jadi benar tidur, si anak gempal ternyata sudah tertidur bersama kakaknya. Yes! berhasil kataku, sebelum akhirnya ibunya bercerita si anak gempal masih saja bermain- main ketika aku pura -pura tapi tidur beneran. Tertawa aku karenanya. Jam di tanganku yang kurang bulu menunjukkan sekitar pukul 21:30. Bersama kabar dari Refa Likumahuwa yang katanya baru pulang dari pendidikan militernya di cianjur. Sungguh wanita yang hebat mampu tinggal di tempat semacam itu.
Kutelpon dia karena pulsaku banyak, juga rindu. Ternyata dia lagi tes uji nyali di kamarnya, bersama paku yang baru saja ia tancapkan di kepalanya ceritaku, yang membuatnya ketakutan setengah menit. Kubilang aku mau bertemu mama kamu, malah dilarangnya
"ngapain ih?!".
"minta izin"
"apa?"
"aku malu kalau harus bilang aku mencintaimu kepadamu, lebih baik aku bilang pada ibumu."
"kok gitu?"
"biar dia tertawa."
"karena apa?"
"dikiranya aku bercanda"
"ih!"
"padahal aku serius"
"aku gak bisa LDR"
"itu keputusanmu kan"
"ini penolakan mentah- mentah. Hehe"
"kan aku berhak menolak keputusanmu"
"ihhhhhhhhhh!"
Kemudian tertawalah kami, setelah sebelumnya kunyanyikan juga lagu Librani untuk Kang Burhan. Baik dia, aku minta kopinya di Kemah dia tidak marah, mudah- mudahan bukan karena malu untuk itu. Malam yang menyenangkan di Kabupaten Bandung.
Sampai rumah bertemu makhluk berbadan gempal dengan tinggi selututku, tiba- tiba berlari dan menatapku dengan tatapan penuh. Mungkin aku bisa dimakannya dia pikir. Kutemui wanita tercintaku dan kucium ia, lalu kembali ke tempat si anak gempal. Gila kuat sekali tenaganya ucapku dalam hati. Bola yang ia tendangkan tepat mengarah ke mukaku, terpentalku lalu pura- pura pingsan di kursi, berharap ia juga tertidur karena babak perpanjangan waktu sudah selesai. Semua lelah, kecuali dia, anjir bocah edan.
Bangun aku dari pura- pura tidurku yang akhirnya jadi benar tidur, si anak gempal ternyata sudah tertidur bersama kakaknya. Yes! berhasil kataku, sebelum akhirnya ibunya bercerita si anak gempal masih saja bermain- main ketika aku pura -pura tapi tidur beneran. Tertawa aku karenanya. Jam di tanganku yang kurang bulu menunjukkan sekitar pukul 21:30. Bersama kabar dari Refa Likumahuwa yang katanya baru pulang dari pendidikan militernya di cianjur. Sungguh wanita yang hebat mampu tinggal di tempat semacam itu.
Kutelpon dia karena pulsaku banyak, juga rindu. Ternyata dia lagi tes uji nyali di kamarnya, bersama paku yang baru saja ia tancapkan di kepalanya ceritaku, yang membuatnya ketakutan setengah menit. Kubilang aku mau bertemu mama kamu, malah dilarangnya
"ngapain ih?!".
"minta izin"
"apa?"
"aku malu kalau harus bilang aku mencintaimu kepadamu, lebih baik aku bilang pada ibumu."
"kok gitu?"
"biar dia tertawa."
"karena apa?"
"dikiranya aku bercanda"
"ih!"
"padahal aku serius"
"aku gak bisa LDR"
"itu keputusanmu kan"
"ini penolakan mentah- mentah. Hehe"
"kan aku berhak menolak keputusanmu"
"ihhhhhhhhhh!"
Kemudian tertawalah kami, setelah sebelumnya kunyanyikan juga lagu Librani untuk Kang Burhan. Baik dia, aku minta kopinya di Kemah dia tidak marah, mudah- mudahan bukan karena malu untuk itu. Malam yang menyenangkan di Kabupaten Bandung.
Komentar
Posting Komentar